Minggu, 27 November 2016

Zikirku yang rendah ini



Oleh: Mulki Mulyadi
(Baca puisi dengan latar lagu Raihan, Sebenarnya)

Sebenarnya…
Hampa hati.
Tanpa hadirMu di dalam jiwa.
Dan dzikirku pun, melayang jauh.
Tak sampai padaMu, kuharap ampun.
Ribuan doa yang kuratap.
Bagai setitik buih dalam lautan rahmat.

Dan aku pun, tak sanggup meminta.
Sering terjerat, tali yang rapuh.
Mohon ampun, tak kenal lelah.
Lirihku sepanjang waktu.

Aku sadari, diriku.
Penuh lumpur hitam, sekelam malam.
Terhempas badai, terseret gelombang.
Tanpa sayangMu tak ada lagi harapan hidupku.
Tujuanku, semua berkah dariMu.
Kasihi kami, aku dan semua.

Sebenarnya, luka dalam dada.
Dapat sembuh karena Engkau.
Maka pintaku mengharap satu.
Dapat kulihat wajahMu.
Dapat terangi hasrat jiwaku.
Bunga dalam taman mawarku.
Bintang gemintang dalam desis pujianku.
Satu namun beranting.

Itulah sebait rindu.
Dari yang fana.
Teruntuk yang kekal.

Kamis, 03 November 2016

Sajak refleksi pemberantasan korupsi

Muak

Oleh: Mulki Mulyadi

Enak betul jadi pejabat.
Yang tak kenal halal dan haram.
Sesuka hati meraup harta.
Tiap hari kerja berleha-leha.

Enak betul para pembesar.
Sampai muak aku mendengar.
Banyak yang ambil yang bukan hak.
Merah, pedih, marah.
Namun tunduk kumenahan amarah.

Rasanya duka dalam negeri.
Iri, dengki, hasut semua intrik ada.
Seharusnya kan jadi pelayan.
Malah pongah minta dilayan.
Seenak perut berlipat tangan.
Hartanya pun bukan.

Hampir isi perutku semua terhambur.
Tersulut kotornya kelakuan mereka.
Benci, hambur, lempar.
Semua serangan tak cukup melukiskan.
Apa yang terjadi pada pejabat negeri.
Kusut masai sudah teriakan parau.
Tak terdengar telinga mereka tuli.

Bodohnya sekolah pintar-pintar.
Taktahu mana baik mana benar.
Pantas saja rakyat jadi kasar.
Duitnya itu yang dipakai melayar.

Pelesir ke sudut dunia.
Duh, aku mulai muak!
Pergilah sana ke planet terjauh.
Jangan pulang sebelum bertaubat.

Duh, bosan kami lihat mereka.
Pancungan mungkin puaskan batin.

Pancung!