Oleh: Mulki Mulyadi*
Riweh sekarang pemuda-pemudi tak tahu diri, dimana-mana.
Zaman orang-orang edan juntrungannya satu, lampiasan nafsu.
Berbekal ilmu dengan konsep pemikiran layaknya filosof zaman
yunani.
Yang bertanya tanpa ada yang jawab akhirnya mereka jawabkan
sendiri.
Krisis contoh yang tua menasehati yang muda padahal dulu
sama sahaja.
Dulu juga pemuda labil lebih banyak tahu yang haram dari
yang halal.
Pantas saja keturunannya tak mahu dengar lagi kata bapanya.
Berpegang dalam tali yang rapuh tak lagi tahu apa yang
lurus.
Kata penyair zamane edan nyatane wes dadi dulu.
Zaman VOC orang Nusantara banyak pragmatis, lihat untung rugi.
Anak negeri ditindas sultan dan raja melihat sahaja, tonton
wayang dari jauh.
Sebab tak punya nyali selepas Diponegoro yang nyalinya
sebesar pulau Jawa.
Perang demi nama leluhur dan nilai bangsanya yang ternoda
terinjak.
Seperti pula Aceh yang berdarah namun lekat erat tali
pendiriannya.
Juga Pahlawan yang datang silih berganti tawarkan aksi budi sejati.
Hingga sekarang orang lagi sanjung dapat teladan dan jua
petuah.
Dimana gerangan misal yang tak lagi jadi contoh itu.
Dalam generasi muda zaman baru yang tak lagi mahu peduli.
Hanya asyik masyuk hiburan sendiri tak ingat sejarah diri.
Padahal pejuang syuhada penuhi Surabaya dengan takbir terbahana.
Seluruh Jawa memerah ditatap dari awan yang putih, timbulkan
semangat merah putih.
Sebelumnya sudah bersatu di bawah panji bahasa dan rasa.
Sumpah teladan.
Pada masa ketika anak negeri malah banyak yang buta huruf
dan butuh gizi.
Rasa zaman sekarang rasa arak dibanding dahulu yang rasa
darah.
Pada mabuk kekuasaan politik orba dikecam politik sendiri
lari-lari.
Linglung seperti taman kanak-kanak layaknya kata si guru
bangsa.
Belum mampu rayakan sejahtera jargon revolusi mental yang
terpental.
Karena pucuknya busuk ditebas akarnya yang busuk,
sebetulnya.
Ya dipotong terus tak ada habisnya tak tahu sumbernya.
Riweh, rasa anak negeri yang tak malu diri ucapkan janji.
Mereka pun tak tahu apa bisa jawabkan yang menjadi program.
Asal kakek senang bapak girang bukan kepalang.
Bagi-bagi kesenangan di kursi yang dahulunya milik rakyat.
Ampun tuhan anak modern kelakuannya sekarang lain.
Dari kampung hingga ke kota, mungkin sama tak layaknya.
Yang terbalik dianggap baik, yang tertata dianggap ambrul.
Padahal sama dulu lahir di kampong, bergelimang keringat
para petani.
Bangsa petani yang mahu kembali jadi pelaut tapi takut ombak
dilamun.
Lucu ya sekarang ini tak ada lagi yang mahu bersusah introspeksi.
Mudanya ideologis tuanya pragmatis materialis tak mampu
diandalkan.
Hanya mereka yang sedikit berjuangan demi kemajuan meski
hasilnya kecil.
Mending asal ada usaha daripada tidak hanya duduk bertopang
dagu.
Ampun tuhan pemuda sekarang ingatnya sumpah palapa.
Sumpahnya sendiri tak jadi soalan lagi, gayanya itu banyak
meniru.
Aset bangsa dijual diobral jangan-jangan menimbun harta.
Rakus dunia, cinta pangkat jabatan jadi pedoman hidup. Masam
sekali.
Soal budaya tak lagi mengerti budayawan banyak tak mau lagi belajar.
Pengennya pintar biar berguna jadi pejabat tiada gunanya.
Ampun tuhan, sekarang anak bangsa macam gimana.
Mudah-mudahan timbul kembali teladan rakyat, tak lagi
maling-maling.
Hanya pintar retorik kosong aksi.
Ampun Tuhan….
*Penulis adalah Sastrawan Sejarah dari Komunitas Rempah, saat ini mengambil Master di Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Indonesia.