Senin, 31 Oktober 2016

Opini: Menegur Angkot Jakarta



Oleh: Mulki Mulyadi
“Jakarta barangkali telah dikutuk tuhan”. Begitu umpatku ketika kemacetan melanda sepanjang jalanan Ibukota. Pernah sekali waktu saya harus mematikan mesin motor di tengah gerimis akibat parahnya kemacetan, semua motor tidak bergerak hampir setengah jam lamanya. Ketika itu saya berkeringat kegerahan, asap knalpot dan sesaknya manusia membuatku sesak nafas. “Jakarta barangkali telah dikutuk tuhan”. Omelku lagi, kesal bukan kepalang. Belum lagi angkot-angkot yang tidak tahu diri itu, sering nyelonong, parkir sembarangan dan berhenti tak tentu waktu serta tak pakai lampu sen membuat kemacetan semakin parah. Tak urung lagi banyak pengendara yang hampir menabrak dan bahkan ada yang sampai jatuh karena ulah sopir-sopir tak tahu budi itu.

Minggu, 30 Oktober 2016

Sajak Budaya: Rupa-rupa yang memukau





Oleh: Mulki Mulyadi

Dalam gambar yang seakan bergerak itu ada budaya yang menepi.
Goresan kuas itu menyentuh dan mengalur menjadi cerita bergambar.
Di jepang ia disebut manga, di amerika namanya kartun.
Ceritanya macam-macam tokohnya cerminan variasi.
Populer sekarang di tengah anak muda yang doyan panorama.
Tapi tak bisa menggambar hanya baca dan baca sampai lupa waktu.
Bukti kreatifitas bangsa lain yang bangsa sendiri hanya jadi penonton.

Dalam sosok imaji itu ada pelukis dibaliknya, penanya meliuk halus.
fantasinya tak terbayang hasilkan karya yang utuh bagai membaca buku.
Manga, kartun, sosok hero yang digemari itu, otak dibaliknya cerdas bukan kepalang.
Hasil seni kontemporer yang marak dikomunitas rakyat modern.
Tapi lukisan juga punya pasarnya, warna warni dunia yang mencerminkan realitas.
Kebudayaan masyarakat yang terpadu dalam bingkai makna terpatri.

Gambar-gambar itu luar biasa binalnya, tertafsir di setiap kepala melalui mata.
Persepsi menentukan hasil bagus tidaknya tergantung selera pembaca.
Menilai dari rasa dan dalamnya makna seni indah yang terpatri.

Dalamnya seni diraih oleh si mata jeli, membaca arti rupa.
Lalu digerakkan warna warni kuas itu, jadi ia sebuah rupa bergerak.
Dalam narasi cerita yang memantik minat anak remaja.
Tapi cerita memang tak jauh dari aksi dan romansa.
Ada sedikit kisah mendidik tapi biasanya kurang diminati.

Anak bangsa buat sendiri juga kurang banyak yang menyukai.
Katanya ga niat kurang ide dan kreativitas malah membosankan.
Bilakah nanti ada karya baru hadapi pesaing mancanegara.
Dapat menggambar untaian warna yang sarat muatan edukasi.
Didik anak bangsa kembangkan mental sepenuh hati.
Jaya negeri dari ranah seni rupa yang layak jadi nontonan massa.
Tua muda tak kenal usia dapat ambil manfaat.

Selalu, moga.

Jumat, 28 Oktober 2016

Sajak-Sajak Introspeksi: Ampun Tuhan Anak Negeriku!



Oleh: Mulki Mulyadi*

Riweh sekarang pemuda-pemudi tak tahu diri, dimana-mana.
Zaman orang-orang edan juntrungannya satu, lampiasan nafsu.
Berbekal ilmu dengan konsep pemikiran layaknya filosof zaman yunani.
Yang bertanya tanpa ada yang jawab akhirnya mereka jawabkan sendiri.
Krisis contoh yang tua menasehati yang muda padahal dulu sama sahaja.
Dulu juga pemuda labil lebih banyak tahu yang haram dari yang halal.
Pantas saja keturunannya tak mahu dengar lagi kata bapanya.
Berpegang dalam tali yang rapuh tak lagi tahu apa yang lurus.

Kata penyair zamane edan nyatane wes dadi dulu.
Zaman VOC orang Nusantara banyak pragmatis, lihat untung rugi.
Anak negeri ditindas sultan dan raja melihat sahaja, tonton wayang dari jauh.
Sebab tak punya nyali selepas Diponegoro yang nyalinya sebesar pulau Jawa.
Perang demi nama leluhur dan nilai bangsanya yang ternoda terinjak.
Seperti pula Aceh yang berdarah namun lekat erat tali pendiriannya.
Juga Pahlawan yang datang silih berganti tawarkan aksi budi sejati.
Hingga sekarang orang lagi sanjung dapat teladan dan jua petuah.

Dimana gerangan misal yang tak lagi jadi contoh itu.
Dalam generasi muda zaman baru yang tak lagi mahu peduli.
Hanya asyik masyuk hiburan sendiri tak ingat sejarah diri.
Padahal pejuang syuhada penuhi Surabaya dengan takbir terbahana.
Seluruh Jawa memerah ditatap dari awan yang putih, timbulkan semangat merah putih.
Sebelumnya sudah bersatu di bawah panji bahasa dan rasa. Sumpah teladan.
Pada masa ketika anak negeri malah banyak yang buta huruf dan butuh gizi.

Rasa zaman sekarang rasa arak dibanding dahulu yang rasa darah.
Pada mabuk kekuasaan politik orba dikecam politik sendiri lari-lari.
Linglung seperti taman kanak-kanak layaknya kata si guru bangsa.
Belum mampu rayakan sejahtera jargon revolusi mental yang terpental.
Karena pucuknya busuk ditebas akarnya yang busuk, sebetulnya.
Ya dipotong terus tak ada habisnya tak tahu sumbernya.
Riweh, rasa anak negeri yang tak malu diri ucapkan janji.
Mereka pun tak tahu apa bisa jawabkan yang menjadi program.
Asal kakek senang bapak girang bukan kepalang.
Bagi-bagi kesenangan di kursi yang dahulunya milik rakyat.

Ampun tuhan anak modern kelakuannya sekarang lain.
Dari kampung hingga ke kota, mungkin sama tak layaknya.
Yang terbalik dianggap baik, yang tertata dianggap ambrul.
Padahal sama dulu lahir di kampong, bergelimang keringat para petani.
Bangsa petani yang mahu kembali jadi pelaut tapi takut ombak dilamun.
Lucu ya sekarang ini tak ada lagi yang mahu bersusah introspeksi.
Mudanya ideologis tuanya pragmatis materialis tak mampu diandalkan.
Hanya mereka yang sedikit berjuangan demi kemajuan meski hasilnya kecil.
Mending asal ada usaha daripada tidak hanya duduk bertopang dagu.

Ampun tuhan pemuda sekarang ingatnya sumpah palapa.
Sumpahnya sendiri tak jadi soalan lagi, gayanya itu banyak meniru.
Aset bangsa dijual diobral jangan-jangan menimbun harta.
Rakus dunia, cinta pangkat jabatan jadi pedoman hidup. Masam sekali.
Soal budaya tak lagi mengerti budayawan banyak tak mau lagi belajar.
Pengennya pintar biar berguna jadi pejabat tiada gunanya.
Ampun tuhan, sekarang anak bangsa macam gimana.
Mudah-mudahan timbul kembali teladan rakyat, tak lagi maling-maling.
Hanya pintar retorik kosong aksi.

Ampun Tuhan….



*Penulis adalah Sastrawan Sejarah dari Komunitas Rempah, saat ini mengambil Master di Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Indonesia.

Kamis, 27 Oktober 2016

Puisi Filantropi: Tentang Pertolonganmu di kala aku sedih



Oleh: Mulki Mulyadi*

Tak pasti jika aku sedang kelelahan apakah ada yang menopangku.
Tak pasti bila ada kebutuhanku ada yang mencukupiku.
Jenuh dengan rutinitas buatku kaku dengan urat-urat yang mengeras.
Aku tak yakin bila kubicara tentang dunia, ada yang dengan senang hati mendengarku.
Dunia dimana hati-hati manusia berpacu terus membuat perubahan.
Sebuah belantara yang hukumnya pun hukum rimba, tak pasti.

Tapi pertolonganmu telah memberi arti tentang kemanusiaan.
Seperti daun yang jatuh ke tanah yang memberi makna kesuburan.
Jarang ada kepedulian seperti yang engkau lakukan ini, jarang.
Dikala semua manusia bagaikan orang-orangan sawah yang digerakkan.
Atau robot yang berpacu dalam dentuman waktu tanpa akhir.
Tanpa perasaan untuk berbagi dan bersuka cita dengan sesama.
Di dunia yang telah membeku ini, semua hati pun membeku dalam mimpi.
Tentang kemakmuran yang tidak terbatas walau sumbernya terbatas.

Kau berpikir dengan cinta, bukan cinta yang membuatmu berpikir.
Orang-orang yang kemalangan menerima nasib baik darimu.
Penderitaan tersembuhkan dan kesedihan tak lagi terperikan.
Karena dikala orang tercabik hatinya, kau datang dengan obat beribu cinta.
Bagai salep mujarab sembuhkan perangai dusta diantara manusia.
Tumbuhkan benih kebersamaan dalam jeritan nafas tersengal manusia modern.

Tentang dirimu yang bertangan salju, ditengah panasnya udara padang pasir.
Tahukan engkau ribuan orang menjerit kehausan diujung dunia sana.
Mereka butuh tangan saljumu untuk meredakan dahaga cinta yang dikekang jeratan tamak.
Mereka dulunya merasa sendiri, sekarang mereka merasa punya keluarga.
Di dunia yang kau buktikan ini, bahwa perbedaan bukan lagi alasan untuk menjauh.
Bahwa pertolongan tulus dari hati akan menyadarkan mereka yang ragu.
Cita-cita murni tentang mimpi membangun dunia yang penuh cinta.
Ketika kau ulurkan tanganmu, aku sedang sedih. Tak ada yang membantu.
Kau sangat bersemangat seakan tak ada luka dalam dadamu. Itulah prinsipmu.

Hukum hewani seakan raib ketika kau datang, yang ada hukum manusia.
Manusia yang memberi manusia, bukan manusia menerkam manusia.
Ketika kusadar dari sedihku kulihat banyak orang yang sama pulihnya.
Sembari menantang hari baru yang penuh pemberian ikhlas dari kalbu.
Bersama-sama terjalin dalam ikatan yang tak akan pernah rapuh.
Semua yang telah kau bantu akan bersamamu, karena meneladanimu.
Jadilah terus teladan bagi yang lain, 
kami mendukungmu.
Dalam hati-hati kami yang padu.
Demi dunia yang lebih berarti.




*Penulis adalah sastrawan sejarah dari Komunitas Rempah.