Senin, 31 Oktober 2016

Opini: Menegur Angkot Jakarta



Oleh: Mulki Mulyadi
“Jakarta barangkali telah dikutuk tuhan”. Begitu umpatku ketika kemacetan melanda sepanjang jalanan Ibukota. Pernah sekali waktu saya harus mematikan mesin motor di tengah gerimis akibat parahnya kemacetan, semua motor tidak bergerak hampir setengah jam lamanya. Ketika itu saya berkeringat kegerahan, asap knalpot dan sesaknya manusia membuatku sesak nafas. “Jakarta barangkali telah dikutuk tuhan”. Omelku lagi, kesal bukan kepalang. Belum lagi angkot-angkot yang tidak tahu diri itu, sering nyelonong, parkir sembarangan dan berhenti tak tentu waktu serta tak pakai lampu sen membuat kemacetan semakin parah. Tak urung lagi banyak pengendara yang hampir menabrak dan bahkan ada yang sampai jatuh karena ulah sopir-sopir tak tahu budi itu.

Mungkin tulisan di atas terlalu berlebihan, seakan tidak melihat nasib supir angkot yang berpeluh kasihan sembari kejar mengejar setoran. Bagaimanapun, disatu sisi mereka punya keluarga yang mau diberi makan serta kehidupan susah yang dijalani dengan penghasilan pas-pasan, tapi di sisi lain pengendara juga punya hak untuk merasakan tertibnya berlalu lintas. Supir-supir itu menurutku semestinya harus benar-benar paham peraturan lalu lintas dan diatur dengan baik agar tertib, seperti di luar negeri begitu. Sayangnya ini Indonesia bung! Bukan di luar negeri. Orang Singapura bisa saja bangga kalau negerinya paling bersih sehingga tidak ada orang buang sampah sembarangan, tapi jika ia pergi ke Indonesia dan merasakan hawa panas dan kultur Jakarta yakinlah ia pasti buang sampah sembarangan juga. Tidak percaya? Ayo coba datang ke Jakarta.
Begitulah, dalam imajinasiku para sopir angkot itu mestinya disertifikasi dan diberi ruang untuk meningkatkan pendapatan mereka sehingga mereka merasa bahwa pekerjaan yang mereka lakukan itu berharga dan dihargai oleh pemerintah. Selain untuk menghilangkan sopir-sopir tembak yang tak jelas juntrungannya itu, para sopir juga dapat menikmati penghasilan yang lebih besar dari yang semestinya mereka dapatkan. Ya, seperti supir taxi atau supir ojek online itu.
Koperasi angkutan umum juga perlu untuk direformasi, bahkan direvolusi secara total sehingga segala bentuk eksploitasi manusia demi mendapatkan keuntungan sesaat tidak lagi dilakukan. Jika memang tidak tahu bagaimana membuat mekanisme yang benar-benar baru, kurasa tidaklah sulit untuk meniru bagaimana cara kerja angkutan umum di Negara maju. Tinggal bagaimana para pemegang kebijakan itu menentukan seperti apa nanti angkutan umum itu beroperasi tanpa menghilangkan lahan pekerjaan mereka yang telah tersertifikasi sebagai supir. Karena tidak semua orang bisa jadi supir angkot, maka semua supir angkot juga memiliki semangat dan menjadi lebih sejahtera, dengan begitu mereka tidak lagi ugal-ugalan di jalanan dan merepotkan para pengendara lainnya.
Dan yang terakhir adalah bagaimana cara mengantisipasi angkot-angkot di daerah-daerah lain di luar ibukota. Bogor misalnya, sudah jadi kota sejuta angkot. Hal ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, angkot-angkot ini harus dirapihkan karena jika tidak, akan menimbulkan masalah lingkungan yang luar biasa sebab asap kendaran dapat menimbulkan polusi udara. Semua orang juga pasti tahu teori sederhana itu. Pengaturan regulasi angkutan umum tidak saja dapat mengurangi emisi karbon, namun juga memberi kenyamanan kepada semua warga kota sehingga masyarakat tidak lagi jengah untuk naik kendaraan umum bahkan bukan tidak mungkin angkot bakal menjadi primadona yang mempercantik wajah kota. 
Semoga daerah lain juga dapat bercermin dari Jakarta juga kota-kota besar lainnya tempat kemacetan sering terjadi sehingga tidak serta merta meniru-niru pembangunan di kota-kota besar tersebut. Saya yakin daerah lain juga punya pengaturan tata kota sendiri yang lebih baik, terutama soal angkutan umum ini. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar