Kamis, 19 April 2018

Apa Gunanya

Apa gunanya berjuang menegakkan pemerintahan.
Kau kira kebanyakan dari raja-raja itu sanggup berbuat adil?
Kau kira berapa banyak orang berkuasa menghancurkan mimpi besar sebuah bangsa?
Ada bangsa yang dulu ingin merdeka agar tak dijajah.
Malah dapat pemimpin rakus, tamak dan korup.
Bahkan dari kalangan bangsanya sendiri.
Apa gunanya?
Mungkin dengungan ini hanya skeptis sesaat.
Kala banyak orang tak lagi dapat dipercaya.
Mungkin juga utopiamu itu jalan yang terbaik.
Memulai dari atas berharap yang bawah bisa terikut serta.
Masa itu sudah berlalu bung!
Kau kira ini zaman Majapahit, Zaman Gowa-Tallo, Zaman islamisasi Nusantara!
Zaman itu sudah berlalu, tersisa dirimu dan kenyataan bahwa sekarang!
Hanya kamu dan dunia yang sekarat ini berhadap-hadapan.
Hanya kita yang tak kuasa menolak kepentingan.
Yang hanya bisa terdiam kenyang setelah mencuri.
Sesaat lalu tidur bertelekan dipan bantal.
Lalu apa gunanya?
Saat satu doa mustajab kau berikan kepada sang pemimpin.
Ataukah engkau hanya berdiam disana.
Menunggu semua orang sadar, baru kau tahu.
Bahwa mungkin bukan itu yang semua orang cari.
Mungkin yang dicari itu hanyalah pengabdian sahaja.
Memulai dari bawah, dari ketulusan hati untuk berbagi.

Minggu, 27 November 2016

Zikirku yang rendah ini



Oleh: Mulki Mulyadi
(Baca puisi dengan latar lagu Raihan, Sebenarnya)

Sebenarnya…
Hampa hati.
Tanpa hadirMu di dalam jiwa.
Dan dzikirku pun, melayang jauh.
Tak sampai padaMu, kuharap ampun.
Ribuan doa yang kuratap.
Bagai setitik buih dalam lautan rahmat.

Dan aku pun, tak sanggup meminta.
Sering terjerat, tali yang rapuh.
Mohon ampun, tak kenal lelah.
Lirihku sepanjang waktu.

Aku sadari, diriku.
Penuh lumpur hitam, sekelam malam.
Terhempas badai, terseret gelombang.
Tanpa sayangMu tak ada lagi harapan hidupku.
Tujuanku, semua berkah dariMu.
Kasihi kami, aku dan semua.

Sebenarnya, luka dalam dada.
Dapat sembuh karena Engkau.
Maka pintaku mengharap satu.
Dapat kulihat wajahMu.
Dapat terangi hasrat jiwaku.
Bunga dalam taman mawarku.
Bintang gemintang dalam desis pujianku.
Satu namun beranting.

Itulah sebait rindu.
Dari yang fana.
Teruntuk yang kekal.

Kamis, 03 November 2016

Sajak refleksi pemberantasan korupsi

Muak

Oleh: Mulki Mulyadi

Enak betul jadi pejabat.
Yang tak kenal halal dan haram.
Sesuka hati meraup harta.
Tiap hari kerja berleha-leha.

Enak betul para pembesar.
Sampai muak aku mendengar.
Banyak yang ambil yang bukan hak.
Merah, pedih, marah.
Namun tunduk kumenahan amarah.

Rasanya duka dalam negeri.
Iri, dengki, hasut semua intrik ada.
Seharusnya kan jadi pelayan.
Malah pongah minta dilayan.
Seenak perut berlipat tangan.
Hartanya pun bukan.

Hampir isi perutku semua terhambur.
Tersulut kotornya kelakuan mereka.
Benci, hambur, lempar.
Semua serangan tak cukup melukiskan.
Apa yang terjadi pada pejabat negeri.
Kusut masai sudah teriakan parau.
Tak terdengar telinga mereka tuli.

Bodohnya sekolah pintar-pintar.
Taktahu mana baik mana benar.
Pantas saja rakyat jadi kasar.
Duitnya itu yang dipakai melayar.

Pelesir ke sudut dunia.
Duh, aku mulai muak!
Pergilah sana ke planet terjauh.
Jangan pulang sebelum bertaubat.

Duh, bosan kami lihat mereka.
Pancungan mungkin puaskan batin.

Pancung!

Senin, 31 Oktober 2016

Opini: Menegur Angkot Jakarta



Oleh: Mulki Mulyadi
“Jakarta barangkali telah dikutuk tuhan”. Begitu umpatku ketika kemacetan melanda sepanjang jalanan Ibukota. Pernah sekali waktu saya harus mematikan mesin motor di tengah gerimis akibat parahnya kemacetan, semua motor tidak bergerak hampir setengah jam lamanya. Ketika itu saya berkeringat kegerahan, asap knalpot dan sesaknya manusia membuatku sesak nafas. “Jakarta barangkali telah dikutuk tuhan”. Omelku lagi, kesal bukan kepalang. Belum lagi angkot-angkot yang tidak tahu diri itu, sering nyelonong, parkir sembarangan dan berhenti tak tentu waktu serta tak pakai lampu sen membuat kemacetan semakin parah. Tak urung lagi banyak pengendara yang hampir menabrak dan bahkan ada yang sampai jatuh karena ulah sopir-sopir tak tahu budi itu.

Minggu, 30 Oktober 2016

Sajak Budaya: Rupa-rupa yang memukau





Oleh: Mulki Mulyadi

Dalam gambar yang seakan bergerak itu ada budaya yang menepi.
Goresan kuas itu menyentuh dan mengalur menjadi cerita bergambar.
Di jepang ia disebut manga, di amerika namanya kartun.
Ceritanya macam-macam tokohnya cerminan variasi.
Populer sekarang di tengah anak muda yang doyan panorama.
Tapi tak bisa menggambar hanya baca dan baca sampai lupa waktu.
Bukti kreatifitas bangsa lain yang bangsa sendiri hanya jadi penonton.

Dalam sosok imaji itu ada pelukis dibaliknya, penanya meliuk halus.
fantasinya tak terbayang hasilkan karya yang utuh bagai membaca buku.
Manga, kartun, sosok hero yang digemari itu, otak dibaliknya cerdas bukan kepalang.
Hasil seni kontemporer yang marak dikomunitas rakyat modern.
Tapi lukisan juga punya pasarnya, warna warni dunia yang mencerminkan realitas.
Kebudayaan masyarakat yang terpadu dalam bingkai makna terpatri.

Gambar-gambar itu luar biasa binalnya, tertafsir di setiap kepala melalui mata.
Persepsi menentukan hasil bagus tidaknya tergantung selera pembaca.
Menilai dari rasa dan dalamnya makna seni indah yang terpatri.

Dalamnya seni diraih oleh si mata jeli, membaca arti rupa.
Lalu digerakkan warna warni kuas itu, jadi ia sebuah rupa bergerak.
Dalam narasi cerita yang memantik minat anak remaja.
Tapi cerita memang tak jauh dari aksi dan romansa.
Ada sedikit kisah mendidik tapi biasanya kurang diminati.

Anak bangsa buat sendiri juga kurang banyak yang menyukai.
Katanya ga niat kurang ide dan kreativitas malah membosankan.
Bilakah nanti ada karya baru hadapi pesaing mancanegara.
Dapat menggambar untaian warna yang sarat muatan edukasi.
Didik anak bangsa kembangkan mental sepenuh hati.
Jaya negeri dari ranah seni rupa yang layak jadi nontonan massa.
Tua muda tak kenal usia dapat ambil manfaat.

Selalu, moga.